Putra, Agustinus Hermino Superma. 2016. Manajemen Kemarahan pada Siswa di Sekolah Katolik. Studi Multi Kasus pada SMPK Frateran Celaket 21 Malang, SMPK Cor Jesu Malang, SMPK Frateran Ndao Ende, dan SMPK Santa Ursula Ende. Disertasi, Program Studi Manajemen Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Prof. Dr. H. Hendyat Soetopo, M.Pd, (II) Dr. H. Imron Arifin, M.Pd, (III) Prof. Dr. H. Ali Imron, M.Pd, M.Si.

Kata Kunci: manajemen kemarahan, pendidikan karakter, sekolah Katolik

         

Semangat karya kerasulan awam dari gereja dalam pendidikan bertolak dari dokumen Konsili Vatikan II mengenai Gravissium Educationis (GE) yang berarti sangat pentingnya pendidikan. Bertumpu dari hal tersebut, pendidikan pada sekolah Katolik tidak hanya mengajarkan aspek akademis, tetapi juga menanamkan pendidikan karakter kepada para siswanya khususnya dalam hal pengelolaan kemarahan. Manajemen kemarahan pada siswa masih merupakan hal yang baru yang dapat berkontribusi pada manajemen kelas dan manajemen peserta didik dalam proses pembelajaran di sekolah. Fokus utama penelitian meliputi: (1) sumber-sumber kemarahan siswa, (2) proses pengelolaan penanganan kemarahan siswa, (3) strategi penanganan faktor penghambat dan pendayagunaan faktor pendukung dalam pengelolaan penanganan kemarahan siswa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi multi kasus. Peneliti berusaha memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi pada saat penelitian sehingga peneliti dapat memahami konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, pada pelaksanaan pengelolaan kemarahan pada siswa yang terdapat pada sekolah Katolik yang diteliti.

Teknik pengumpulan data meliputi: (1) wawancara mendalam, (2) observasi partisipan, dan (3) studi dokumentasi. Data yang terkumpul selanjutnya diorganisasi, ditafsir, dan dianalis secara mendalam, baik melalui analisis dalam kasus tunggal maupun lintas kasus guna menyusun konsep dan abstraksi temuan penelitian. Kredibilitas data dicek dengan prosedur triangulasi, pengecekan anggota, diskusi teman sejawat.

Temuan penelitian sebagai berikut: pertama, sumber kemarahan siswa pada sekolah Katolik disebabkan karena: (a) hubungan orangtua yang tidak harmonis; (b) kekerasan dalam rumah tangga; (c) kurangnya kualitas waktu dan perhatian orangtua pada anak; (d) tidak terpenuhinya keinginan anak; (e) pergaulan dengan teman dan dalam masyarakat; (f) cara guru mengajar di kelas; (g) pekerjaan rumah oleh guru; (h) pelajaran tambahan di siang hari setelah selesai jam sekolah dan (i) penggunaan sarana komunikasi yang kurang terkontrol.   

Kedua, proses pengelolaan kemarahan siswa pada sekolah Katolik, dilakukan melalui: (a) perencanaan pengelolaan kemarahan yang didasarklan pada makna Gravitimus Educationis atau sangat pentingnya pendidikan dalam karya kerasulan awam Gereja melalui bidang pendidikan dan pemahaman “experience and concept learning”, yaitu penanganan kemarahan siswa yang didasarkan pada akar masalah yang timbul, kemudian dipadukan dengan pengalaman guru, ahli psikologi, dan orangtua; (b) pengorganisasian pengelolaan kemarahan siswa dilakukan dengan sistem line directing dimana Kepala Sekolah berperan dalam pendelegasian tugas dan kewenangan kepada guru, sedangkan koordinasi antar guru dilakukan secara paralel coordinating, yaitu koordinasi sewaktu-waktu; (c) pelaksanaan pengelolaan kemarahan siswa dilakukan dengan melibatkan: (1) peran yayasan dalam dukungan terhadap para biarawan dan biarawati sebagai pendamping mental spiritual siswa, (2) peran guru sebagai panutan (role model) untuk membangun relasi interpersonal antar guru dan siswa sehingga tercipta situasi yang memungkinkan siswa dapat belajar menerapkan nilai-nilai yang menjadi contoh dan memberi contoh, serta (3) peran orangtua siswa dalam pendidikan keluarga di dalam rumah; (d) pengontrolan penanganan kemarahan siswa dilakukan melalui: (1) guru piket harian setiap pagi dalam menyambut kedatangan siswa ke sekolah; (2) buku penghubung dari sekolah kepada orangtua siswa; (3) peraturan kelas yang langsung dibuat sebagai kesepakatan siswa di dalam kelas; (4) slogan-slogan pendidikan karakter yang ada dala lingkungan sekolah; (5) keterlibatan psikolog yang ada di sekolah dalam bekerja sama dengan Guru Bimbingan Konseling; dan (6) kegiatan bina iman pada setiap hari Jumat, dan retret pada setiap bulan Maret atau menjelang hari raya Paskah dan bulan Desember atau menjelang hari raya Natal.

Ketiga, strategi penanganan faktor penghambat dan pendayagunaan faktor pendukung dalam pengelolaan penanganan kemarahan siswa dilakukan melalui adanya: (a) dukungan dari yayasan sekolah Katolik dalam upaya penanganan kemarahan yang terjadi pada siswa, (b) keterlibatan dan kerja sama yang baik dari kepala sekolah kepada semua guru, (c) hubungan yang baik dari kepala sekolah dengan komite sekolah, dan (d) kerja sama yang baik antara pihak gereja setempat dan sekolah.

Dari hasil penelitian ini dapat disampaikan saran kepada: (1) Kepala Sekolah: (a) perlu adanya dokumen panduan penyusunan pengelolaan kemarahan siswa di sekolah, (b) mempunyai standar pengelolaan kelas yang nyaman yang mensasar aspek akademis, dan pengelolaan perilaku serta emosi siswa; (2) yayasan sekolah: (a) meningkatkan partisipasi dan keterlibatan orang tua siswa, (b) memberdayakan biarawan dan biarawati untuk menjadi pendampinng siswa bermasalah; (3) guru: (a) mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan kemarahan siswa; (b) keteladanan dari guru terhadap pengembangan nilai-nilai karakter pada para siswa; (c) penyiapan RPP berkarakter; (d) mengaktifkan buku penghubung dari sekolah kepada orangtua siswa; (3) orangtua: (a) peningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan di rumah; (b) mencermati buku penghubung siswa; (4) ahli pendidikan hendaknya terus mencari formulasi pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan Indonesia; dan (5) peneliti lain dapat mengembangkan dan menggali lebih dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan “Attitude-Based Classroom Management”, dengan memperhatikan tiga unsur yaitu: (a) iklim sekolah (school climate), (b) pendidikan nilai (education value), dan (c) hubungan sekolah dengan masyarakat (school-community relation).